Sabtu, 18 Maret 2017

Gay di film "Beauty and The Beast"?


Beberapa waktu yang lalu, di grup Whats App beredar pesan berantai yang bunyinya kurang lebih seperti ini, “Just info ya ..  kita sbg ortu waspada dg kemajuan tehnologi. Tgl 17 Maret nanti mulai tayang film animasi anak2 “Beauty and the Beast. Ini salah satu film yang ditunggu anak-anak pada tahun ini. Sayang film ini mengandung “racun” buat anak-anak kita. Pertimbangkan kalo mau ajak anak-anak nonton “virus LGBT” ini: Karakter Homoseksual Pertama Disney dalam Beauty and The Beast disertai link berita dari CNN Indonesia mengenai Rusia yang akan melarang Beauty and The Beast .. diakhiri dengan kalimat > Sebuah upaya “halus” untuk menularkan virus bahwa LGBT adalah wajar."

Saya pun kemudian berusaha mencari tahu seperti apa yang dimaksud Sang Sutradara mengenai adegan gay tersebut, hingga akhirnya saya menemukan sebuah berita tentang adegan tersebut.

Menurut si empunya peran LeFou, Josh Gad, adegan yang digambarkannya adalah rasa kekaguman LeFou terhadap Gaston. LeFou di satu hari merasa ingin menjadi Gaston (Luke Evans) tapi di hari lain juga ingin menciumnya. Dia bingung tentang apa yang dia inginkan. Dia hanya seseorang yang baru menyadari bahwa dia punya perasaan seperti itu.

Dan dari pencarian saya di berita-berita selanjutnya, ternyata adegan yang berkaitan dengan LGBT ini bukan yang pertama, Disney sudah memulainya dengan “Finding Dory” ketika Si Gurita duduk di kereta bayi. Kedua wanita tersebut terkejut melihat bayinya berubah menjadi gurita.

Saya pun terhenyak, bukan terkesima karena Disney berani memunculkan adegan lesbian, tetapi karena saya tidak menemukan adegan yang dimaksud. Setengah mati saya memutar kembali ingatan saya tentang film “Finding Dory” tetap saja yang terbayang di benak saya tetap terfokus pada Dory, bagaimana si ikan kecil tadi akhirnya bertemu dengan kedua orang tuanya.

Hingga ketika akhirnya saya menemukan adegan yang berkonotasi “lesbian” tadi, saya pun tersenyum dan membatin, “Oh … ini toh yang dimaksud dengan adegan lesbian, wong cuma sepasang manusia kaget lihat gurita dalam kereta bayi, kok bisa-bisanya diklaim berkonotasi ‘lesbian’. Ah mungkin karena ketika menonton fokus perhatian saya lebih pada si gurita dan ekspresi kaget kedua orang tadi yang bagi saya biasa-biasa saja. Apa salahnya dua perempuan berjalan bersama, saya pun sering berjalan dengan sahabat saya berdua saja.

Seperti biasa, saya pun bertanya, mengapa ketika “Finding Dory” sudah heboh di luar Indonesia, disini adem ayem. Seingat saya, pesan berantai  serupa tentang film “Finding Dory” tidak pernah saya terima. Namun kenapa “Beauty and The Beast” menjadi heboh?

Mungkinkah karena pernyataan Josh Gad mengenai karakter yang diperankannya. Ditambah dengan berita penolakan film tersebut  di Malaysia, Rusia dan Alabama mencuat  - (Rusia akhirnya mengizinkan, Disney memutuskan untuk tidak mengedarkan film tersebut di Malaysia karena bersikeras tidak ingin memotong adegan yang hanya 4.5 menit).

Wallahu a’lam. Tapi yang pasti akal sehat saya tidak berpihak pada pesan berantai yang beredar lewat Whatss App. Apa sih adegan LGBT itu? Berkhayal mencium Gaston seperti layaknya film orang dewasa? Atau berpelukan

Sejak kedua putri saya masih anak-anak hingga putri tertua menjadi dewasa, saya belum pernah menemukan film Disney yang menampilkan adegan ciuman yang hotnya luar biasa.  Apalagi kategori film ini adalah film keluarga, adegan yang ditampilkan selalu dalam koridor film keluarga bukan film dewasa.

Dan terbukti akal sehat saya pun ternyata benar, menonton film ini dari awal hingga akhir, adegan LeFou ingin mencium Gaston – bahkan berupa khayalan pun tidak ada.  Adegan LeFou berdansa dengan pria lain di akhir cerita pun hanya sekilas dan itu pun diawali dengan adegan LeFou berdansa dengan seorang wanita, dan kemudian ketika berputar berganti pasangan, tiba-tiba pasangan wanita LeFou berganti menjad seorang pria. Adegan ini pun hanya 2 menit dan dibuat dengan jenaka.

Jadi, sekali lagi, dimana letak adegan LGBT yang diributkan itu?

Ironisnya, baru kali ini saya menemukan tidak ada seorang anak pun yang menonton, padahal film ini diperuntukkan bagi anak-anak berusia 13 tahun ke atas.  Sementara sebelumnya justru di film-film yang diperutunkkan bagi orang dewasa dengan adegan yang tida patut ditonton oleh anak kecil beberapa kali saya terganggu oleh suara anak kecil bertanya kepada ayahnya atau menangis karena bosan.

Dan yang lebih menyedihkan lagi, orang dewasa yang menonton film "Beauty and The Beast" tampaknya tidak bisa menemukan adegan-adegan yang lucu, layaknya seorang anak kecil ketika menonton adegan tersebut. Mungkin karena mereka sibuk mencari adegan LGBT yang jelas-jelas tidak ada dalam film itu, sehingga hanya segelintir orang yang tertawa ketika si lemari baju yang menyimpan perlengkapan baju perempuan melawan ‘three mustketeers” dengan mengubah baju dan dandanan si “three musketeers” menjadi perempuan.

Padahal film ini bagus untuk ditonton oleh anak-anak, mengajarkan mereka untuk tidak berputus asa dan pantang menyerah,  bahwa bersikap positif itu harus dibangun agar kita tidak terpuruk dalam penderitaan, bahwa buku adalah jendela dunia dan yang tak kalah pentingnya pembelajaran tentang persahabatan dan pengkhianatan. Belum lagi musik dan lirik yang ada dalam film ini, benar-benar menggugah perasaan.

Adegan tentang persahabatan disampaikan dengan indah, jauh lebih indah dari film animasinya, yaitu ketika Cogsworth, si Jam Meja, menyadari bahwa saatnya telah tiba, dia menyampaikan rasa terima kasihnya atas pertemanan yang diberikan Lumiere, si tempat lilin, selama masa hidup mereka.  

Begitu juga ketika Gaston yang disangka akan membela LeFou, ternyata malah menjadikan  LeFou sebagai tamengnya agar selamat dari pukulan bertubi-tubi si tempat gantungan mantel.

Menyaksikan mereka yang meninggalkan studio saat film itu berakhir, membuat saya mengelus dada, betapa mudahnya kita terbawa pesan berantai yang belum tentu benar. Apa susahnya di era yang serba digital ini kita bertanya pada paman Google. Betapa mudah kita terprovokasi, cukup dengan hanya satu kata LGBT. Dan betapa mudahnya kita menghakimi tanpa berusaha mencari kebenarannya terlebih dahulu.


--> Padahal jika mereka ingat kembali ke masa muda mereka dulu, film Indonesia jelas-jelas menampilkan sosok LGBT lewat film “Catatan Si Boy” atau film “Arisan” atau bahkan sosok “Juwita” di Lenong Rumpi. 
Lalu, apakah mereka yang dulu dengan setia menonton film dan sinetron itu sekarang berubah menjadi LGBT?

Jumat, 24 Februari 2017

Ketika SURGA tidak ditentukan AGAMA



Pernyataan yang tidak jauh berbeda, pernah dilontarkan oleh Alm. Pater Drost SJ, kepala sekolah SMA Kanisius, pemerhati pendidikan dan kebetulan dosen agama katolik saya.

Saat itu, saat masa kuliah, seperti biasa, ketika istirahat tiba, saya kerap bertemu Alm. Pater Drost SJ untuk sekedar mengobrol ngalor-ngidul atau pun berdiskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan agama. Entah mengapa hari itu saya memberanikan diri bertanya kepada beliau tentang persyaratan masuk Surga.

Saya masih ingat dengan jelas pertanyaan saya saat itu,  “Pater, siapakah yang akan masuk surga, mereka yang tidak beragama tetapi menjalankan hukum utama Kristiani yaitu Cinta Kasih, dibandingkan mereka yang beragama Kristen/Katolik, rajin ke gereja, mengikuti semua peraturan gereja, tapi tidak mengamalkan Cinta Kasih.”

Jawaban beliau membuat saya tercengang, “Mereka yang tidak beragama akan masuk surga lebih dulu daripada mereka yang beragama Katolik tapi tidak mengamalkan Cinta Kasih.”

Lanjutnya lagi, “Untuk apa kamu beragama, tapi kamu tidak memperlakukan sesamamu seperti halnya kamu ingin diperlakukan mereka? Untuk apa kamu beragama, ke gereja setiap kali, tapi kamu mengambil hak mereka? Untuk apa kamu beragama, ke gereja setiap kali, mengaku dosa, tetapi dalam kehidupan sehari-hari kamu korupsi, membeda-bedakan orang berdasarkan tingkat kekayaan mereka, menista kaum yang termarjinalkan?”

Saya mencoba mendebat dengan janji-janji yang diberikan agama Katolik yang saya pelajari sejak kecil, bahwa apa pun yang terjadi di hari Kebangkitan, kita semua akan masuk surga.

Tetapi beliau tetap berpegang teguh dengan apa yang disampaikannya, ujarnya, “Ke gereja penting, mengikuti peraturan-peraturan gereja juga penting, tetapi di atas semuanya itu menjalankan hukum Cinta Kasih adalah yang terpenting. Agama adalah cara kamu untuk mengenal Tuhan dan sarana untuk berbincang dengan-Nya. Gereja adalah tempat dimana kamu dapat bersekutu dan menyatu dengan Tuhan. Tetapi persekutuan itu hanya dapat terjadi jika kamu ‘jujur’ dihadapan-Nya.”

Bagi anak kuliahan yang baru lulus SMA, diskusi kami sore itu melampaui batas pemahaman saya tentang ‘AGAMA’.  

Bagaimana tidak sejak kecil, saya diajar bahwa pada saat meninggal nanti, saya pasti masuk Surga, karena itulah yang dijanjikan Tuhan untuk umatnya. Dan tiba-tiba saja, ulama Katolik yang saya hormati dan kagumi, Pater Drost SJ, meruntuhkan semua ajaran itu, menggantinya dengan sebuah cakrawala baru, bahwa bukan AGAMA yang menjadi tiket masuk ke surga, tetapi pengejewantahan CINTA KASIH lah sesungguhnya tiket utama surga itu.

Saya seperti tersadarkan bahwa menepati aturan beribadah setiap hari Minggu, berpuasa dan berpantang selama 40 hari, berdoa setiap pagi-siang-sore, berdoa sebelum makan, bersedekah bukanlah tiket utama untuk masuk surga.  Namun mengejewantahkan Cinta Kasih lewat perbuatan dan tindak-tanduk kita terhadap sesamalah porsi terbesar jalan ke surga.

Pemahaman baru yang dibagikan Alm. Pater Drost SJ mengenai konsep orang Atheis lebih dulu masuk surga dibandingkan mereka yang beragama, membuat saya tidak lagi mengartikan perintah  untuk tidak mencuri misalnya sebagai pengertian mencuri secara lahiriah. Melainkan harus dimaknai secara luas, bagaimana kita sebagai manusia harus selalu memberikan apa yang menjadi hak orang lain. Hak disini tidak semata dalam bentuk uang, tetapi hak-hak mereka sebagai manusia, hak untuk hidup secara layak, hak untuk mendapatkan pendidikan. Bagaimana kita sebagai manusia harus mampu berkata TIDAK saat tawaran untuk berlaku curang datang.

Bagaimana bersikap Adil diterjemahkan lewat cara kita menghormati sesama kita tanpa mempedulikan keyakinan, ras, pangkat dan harta orang tersebut.  Bagaimana kita harus merangkul mereka yang terpinggirkan, bukan membuang mereka yang terpinggirkan. Bahwa kedudukan kita sama di mata Tuhan.

Dan apakah kemudian saya menganggap agama saya yang paling benar? Kali ini saya harus mendengar nasihat Ibu saya yang saya amini hingga kini, “Kamu harus fanatik terhadap agamamu tetapi bukan berarti agama lain salah, karena setiap orang memiliki caranya sendiri untuk bertemu dengan Tuhannya.”

Nasihat yang membuat saya hingga kini menghormati agama dan kepercayaan apa pun yang ada di muka bumi ini. Nasihat yang membuka mata hati saya ketika menemukan ajaran dari agama lain yang tidak berbeda dengan apa yang diajarkan oleh agama saya sendiri.

Bagaimana dengan pencerahan yang diberikan Alm. Pater Drost SJ saat saya duduk di semester I? Harus saya akui pencerahan yang diberikan beliau membentuk perspektif saya tentang konsep AGAMA.

Sejak sore itu, akhirnya saya menyadari bahwa AGAMA adalah sarana untuk berhubungan dengan Tuhan – hubungan vertikal. Sedangkan pengejewantahan AGAMA bersifat horizontal – yaitu bagaimana kita sebagai manusia memperlakukan sesama kita.

Dan hingga kini, bukan hubungan vertikal yang sulit saya terapkan, melainkan hubungan horisontal. Mengejewantahkan AGAMA melalui hubungan saya dengan sesamalah yang membuat saya jatuh bangun setiap kali.


Dan benarlah adanya, tiket untuk ke surga bukanlah AGAMA tetapi bagaimana kita sebagai manusia memperlakukan sesama kita seperti halnya kita ingin diperlakukan mereka. Perbuatan baik yang sekedar dari pengertian lahiriah.